Lasem adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Indonesia. Merupakan kota terbesar kedua di Kabupaten Rembang setelah kota Rembang. Lasem dikenal juga sebagai "Tiongkok kecil" karena merupakan kota awal pendaratan orang Tionghoa di tanah Jawa dan terdapat perkampungan tionghoa yang sangat banyak tersebar di kota Lasem.
Daerah yang telah menjadi
saksi peradaban manusia sejak jutaan tahun lalu ini menyimpan berjuta
misteri dan potensi wisata sejarah yang siap digali. Ada apa sajakah disana?
Berikut tempat yang wajib dikunjungi di Lasem
1. Kelenteng Cu An Kiong
& Poo An Bio
Kelenteng Cu An Kiong yang
berada di Jalan Dasun No 19, Lasem. Kelenteng yang berada tak jauh dari jalur
Pantai Utara (Pantura) Rembang ini merupakan tertua di Jawa.
Dibangun dengan sentuhan
seni tinggi, Klenteng Cu An Kiong tampak kokoh walau telah berusia ratusan
tahun. Tak ada catatan pasti kapan klenteng tertua di Lasem, Rembang, Jawa
Tengah itu dibangun. Penjarahan oleh tentara Belanda pada masa penjajahan
diyakini turut menghilangkan bukti sejarah tersebut.
Namun, menurut cerita bio kong (penjaga klenteng) di Klenteng Cu An
Kiong, Irawan, 49 tahun, klenteng ini diperkirakan dibangun sekitar abad ke-16
oleh orang-orang Cina yang berlabuh di Lasem. Menurutnya, untuk material
bangunan tidak menggunakan kayu pada kapal, melainkan kayu jati yang kala itu
banyak tumbuh di Lasem.
Tak ada yang berubah dari
bangunan klenteng tua ini. Hanya kini terdapat bangunan tambahan seperti ruang
depan dan bangunan lain di kiri dan kanan klenteng sebagai pelengkap bangunan.
Tercatat renovasi dilakukan sekali pada tahun 1838 untuk meninggikan lantai
klenteng karena banjir sering melanda kala itu. Maklum klenteng itu berdiri
persis di depan sungai Lasem.
Sebagai tanda sudah
berbaurnya antara masyarakat Tionghoa dan pribumi. Setiap hari ulang Thian
Siang Seng, yang juga jatuh sebagai hari ulang tahun klenteng, yakni pada
tanggal 23 bulan 3 penanggalan Cina, klenteng akan merayakan sejumlah
pergelaran wayang kulit, klonengan dan gamelan.
Dari sejumlah pengurus
museum Indonesia yang pernah ke Den Hag, Belanda, diketahui kalau klenteng ini
dibangun pada tahun 1477 Masehi, kata dia. Orang-orang museum itu, kata dia,
mengatakan bahwa catatan tentang klenteng di Jawa cukup lengkap di museum Den
Hag tersebut.
Tak hanya pada masa
penjajahan Belanda klenteng Cu An Kiong diusik. Pada saat Jepang berkuasa pun
klenteng juga diusik keberadaannya. Dulu, menurut Gondar, sungai di depan
klenteng sangat luas dan dalam. Banyak rumah penduduk etnis Tionghoa di
sepanjang aliran sungai itu. Namun, demi kepentingan jalan bagi kebutuhan
pengangkut kayu tentara Jepang, akhirnya banyak rumah warga yang dihancurkan
dan akses ke klenteng dipenuhi kayu-kayu.
Kini klenteng itu tetap
berdiri di tengah masyarakat yang heterogen. Sebelah barat tak jauh dari
klenteng terdengar riuhnya bunyi klakson dari truk tronton yang melewati jalan
Pantura. Klenteng Cu An Kiong menjadi sebuah bukti sejarah bahwa masyarakat
Tionghoa dapat berbaur dan melebur bersama budaya dan masyarakat Jawa.
Klenteng Poo An Bio
Klenteng Poo An Bio
terletak di Jalan Karangturi VII No. 13-15 Desa Karangturi, Kecamatan Lasem,
Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi klenteng ini berada di sebelah
timur Gedung Balai Kedamaian atau Vihara Maha Karuna.
Klenteng ini diperkirakan
berdiri pada tahun 1740. Pada saat itu, permukiman orang Tionghoa yang semula
berada di sekitar Sungai Lasem dan sekitar jalan arteri barat-timur, berkembang
dan terus meluas ke selatan sampai Sungai Kemendung, Desa Karangturi. Di
sebelah utara Sungai Kemendung inilah, Klenteng Poo An Bio didirikan karena
keberadaannya tidak bisa dipisahkan dari komunitas Tionghoa.
Bangunan klenteng ini
menghadap ke selatan atau ke arah Sungai Kemendung. Karena dulu sebelum dibuat
Jalan Raya Pos (Grotepostweg) atau dikenal juga dengan Jalan Daendels,
Sungai Kemendung ini termasuk salah satu urat nadi transportasi yang ada di
Lasem. Setiap hari orang akan lalu lalang di atas Sungai Kemendung yang bertemu
dengan Sungai Lasem, kemudian menuju ke Pelabuhan Lasem.
Meski berada di tepi jalan
kampung, namun tak mengurangi kemegahan yang dimiliki oleh klenteng ini.
Pengaruh konsep yin yang terlihat dari bentuk arsitektur
gerbang atau shan men,
yaitu berupa susunan 3 bentuk persegi yang simetris di mana pada bentuk persegi
bagian tengah lebih tinggi dari bentuk persegi di sisi samping kiri dan kanan,
dengan ukuran persegi di sisi kiri dan kanan sama besar.
Ragam hias suatu gerbang
atau shan men biasanya berupa 2 buah naga (xing
long) yang saling berhadapan dengan mutiara Buddha (huo zhu) di
antara kedua naga tersebut, selain itu perletakan singa batu (hanzi) di
sisi kiri dan kanan shan men merupakan satu kesatuan dengan gerbang
tersebut. Hanya saja shan men yang ada di Klenteng Poo An Bio ini,
hewannya tidak terlihat seperti naga.
Menoleh ke kanan setelah
melewati shan men,
pengunjung akan melihat tempat pembakaran kertas persembahyangan (kim lo)
berbentuk seperti botol yang berwarna merah. Kemudian berjalan lurus saja
sebelum masuk ke bangunan klenteng, pengunjung akan menemukan hanzi yang didampingi oleh patung dewa
penjaga. Tepat di depan pintu utama klenteng, terdapat hiolo (tempat menancapkan hio) yang terbuat dari kuningan.
Klenteng Poo An Bio
memiliki beberapa kelebihan, seperti adanya gambar-gambar yang dilukis dengan mo pit, dan menggunakan tinta
bak warna hitam. Lukisan tersebut menceriterakan kisah Tiga Negeri yang
terkenal dengan nama Sam Kok, yang tokohnya bernama Liu Bei, Kwan Kong dan
Zhang Fe
Rumah Candu Lawang Ombo
terletak di Jalan Dasun, Desa Soditan, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa
Tengah. Jalan kampung yang tak terlalu lebar ini dikenal juga sebagai heritage
streetnya Lasem. Disini tersimpan berjuta kenangan sejarah peradaban Lasem yang
membisu dimakan waktu. Bangunan-bangunan kuno tersebut masih dapat dilihat
hingga kini, namun sebagian besar tak terawat. Jalan Dasun bersebelahan dengan
Sungai Bagan atau masyarakat lokal menyebutnya dengan Kali Lasem. Konon,
dahulunya sungai ini merupakan jalur berlayar kapal-kapal dagang yang bersandar
di dermaga pantai Caruban Lasem, tak jauh dari Jalan Dasun. Maka tak heran jika
jalan ini memiliki peran penting bagi peradaban Lasem.
Halaman Lawang Ombo cukup
rimbun oleh pohon mangga dan beberapa jenis pohon lain. Terlihat sekali gaya
arsitektur tiongkok di rumah ini. Pintu utama dan dua buah jendela di sisi kiri
kanannya memang benar-benar lebar dan besar. Sepertinya dari kayu jati pilihan.
Begitu memasuki pintu utama, aroma hio menyeruak di seluruh ruangan. Sebuah
altar perabuan berhiaskan lampu warna-warni menyambut kami. Altar ini untuk
mengenang sang empunya rumah. Beberapa furniture kuno berupa almari dan
peralatan rumah tangga lainnya masih tersimpan rapi di salah satu kamar. Ubin
terakota merah yang sudah mulai tergerus adalah saksi bisu langkah-langkah
kejayaan masa lalu rumah ini.
Rumah seluas 5.500 m2 ini
terdiri dari rumah induk bagian depan, rumah tinggal di bagian belakang dan
gudang. Disebut Rumah Candu Lawang Ombo karena pada sekitar tahun 1.800an rumah
ini merupakan salah satu pusat gudang candu/opium yang diselundupkan dari kapal-kapal
dagang yang berlabuh di Lasem untuk kemudian diedarkan ke seluruh pulau Jawa,
diantaranya ke Semarang, Parakan dan Magelang. Salah satu bukti sejarah
perdagangan candu di Lasem kala itu adalah lubang kecil yang terletak di dalam
bangunan induk. Lubang ini terhubung langsung dengan Sungai Bagan yang ada di
depan rumah. Konon dulunya lubang ini berdiameter 3 meter dengan kedalaman 1,5
meter. Namun karena sungai sering meluap ketika air laut pasang dan masuk ke
rumah, saat ini lubang diperkecil hanya menjadi berdiameter 1 meter saja.
Bukan sekedar masjid
biasa. Interiornya penuh dengan kaligrafi dan ukiran kayu khas pantura
timur Jawa. Lokasinya yang berada di jalan raya utama membuat masjid ini
mudah dijangkau. Orang-orang datang kesini selain untuk menunaikan ibadah
sholat, banyak juga yang datang untuk berziarah ke makam waliullah yang
disemayamkan di sekitar masjid. Diantaranya ada makam Mbah Sambu, salah
seorang penyebar agama Islam zaman Kerajaan Majapahit. Ada juga makam
Adipati Tejakusuma 1 dan makam simbah KH Ma’shum, salah seorang ulama
besar Lasem yang dihormati hingga sekarang. Sebutan lain untuk
Lasem adalah kota santri, karena banyaknya pondok pesantren disini.
sekilas mengenai masjid
Jami' Lasem
Adipati
Tejokusumo I sebagai Bupati Lasem dari generasi ke-empatsetelah Bupati Santi
Puspo, pada tahun 1585 dan menempatkan pusat kekuasaannya di Soditan. Tiga
tahun setelah menjadi adipati, dengan membangun Masjid Jami' Lasem tahun 1588
berada di sebelah barat alun-alun. HIngga kini masjid ini masih megah setelah
mengalami pemugaran-pemugaran. Adipati Tejokusumo meninggal pada tahun 1632.
Untuk
selanjutnya, karena jabatan adipati di Lasem kosong maka Sultan Agung dari
Mataram mengangkat Cik Go Ing sebagai adipati dengan gelar Tumenggung
Mertoguno. Setelah meninggal, Adipati Tejokusumo I dimakamkan disebelah barat
Masjid Jami' Lasem yang sekarang terletak di dusun Kauman, desa Karangturi,
kecamatan Lasem. Disebelah barat laut masjid juga terdapat sebuah makam yang
oleh masyarakat setempat disebut dengan nama makam Mbah Sambu yang dikatakan
merupakan seorang Cina yang menyebarkan agama islam di derah ini pada masa
Tejokusumo I. Makam Tejokusumo I terletak di sebuah halaman yang dikelilingi
oleh tembok bata.
Di dalam
areal tembok bata tersebut terdapat tiga makam yang berderet dari barat ke
timur. Makam Adipati Tejokusumo I terletak di bagian paling barat. Dua makam
lainnya tidak dikenal hingga kini. Jirat makam Tejokusumo I terbuat dari batu
bata yang disusun secara bertumpuk semakin ke atas semakin mengecil. Pada
setiap sudut dan bagian tengah dari masing-masing sisi jirat terdapat hiasan
dengan motif simbar. Adapaun nisan pada makam ini terbuat dari batu andesit
yang dibentuk kurawal dengan hiasan medalion pada bagian tengah. Adapun makam
Mbah Sambu dan istrinya yang berada di sebelah utara makam Adipati Tejokusumo
I. Makam Mbah sambu dan istrinya berada di dalam cungkup yang berdenah bulat
dan beratap kubah yang seluruhnya terbuat dari bata merah berlepa. Kemungkinan
besar makam ini sudah dipugar. Di sebelah utara masjid terdapat bangunan
terbuka yang terdapat makam-makam yang tidak dikenali identitasnya. Dengan
melihat pada nisan-nisannya, tampak dengan jelas bahwa kompleks kuburan ini
juga sudah cukup tua. Nisan-nisan yang bisa dilihat di situ sebagian terbuat
dari batu andesit dengan bentuk kurawal dan gada.
5. Kampung Batik
Karangturi dan Babagan
Belum ke Lasem kalau belum
belanja batik. tiap daerah mempunyai cirikhas untuk batiknya, begitu juga
dengan batik lasem ada beberapa motif untuk batik lasem diantaranya kricak,
laseman, gunung ringgit, tiga negeri, dan motif klasik lainnya. Harganya
juga relatif terjangkau. Pusat
pengrajin batik di lasem berada di desa karang turi dan Babagan.
sekilas mengenai sejarah
batik lasem
Sejarah Batik Lasem erat
hubungannya dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho pada tahun 1413. Babad Lasem
karangan Mpu Santri Badra di tahun 1401 Saka ( 1479 M,), ditulis ulang oleh R
Panji Kamzah tahun 1858 menyebutkan, anak buah kapal Dhang Puhawang Tzeng Ho
dari Negara Tiong Hwa, Bi Nang Un dan istrinya Na Li Ni memilih menetap di
Bonag setelah melihat keindahan alam Jawa.
Di tempat mukim baru ini,
Na Li Ni mulai membatik bermotifkan burung hong, liong, bunga seruni, banji,
mata uang dan warna merah darah ayam khas Tiong Hwa. Motif ini menjadi ciri
khas unik Batik Lasem.
Keunikan Batik Lasem itu
mendapat tempat penting di dunia perdagangan. Pedagang antarpulau dengan kapal
kemudian mengirim Batik Lasem ke seluruh wilayah Nusantara. Bahkan diawal abad
XIX Batik Lasem sempat diekspor ke Thailand dan Suriname. Batik Lasem memasuki
masa kejayaan.
Booming Batik Lasem
membuat perajin menjadi semakin kreatif. Motif baru seperti latohan, gunung
ringgit, kricakan atau watu pecah bermunculan. Syahdan perajin menciptakan
motif kricakan karena terinspirasi penderitaan rakyat saat harus memecah
batu-batu besar untuk dibuat jalan raya pos oleh Daendels.
Batik Lasem terus
menorehkan catatan emas hingga jelang berakhirnya penjajahan kolonial. Para
pengusaha Batik Lasem yang berasal dari kalangan Tionghoa mendapat tempat
istimewa di penduduk pribumi karena membuka lapangan kerja yang banyak.
Masa kejayaan batik yang
menjadi ikon pembauran budaya Jawa dan Cina itu mulai menyurut tahun 1950-an.
Penyebab utama kemunduran Batik Lasem adalah karena terdesak oleh maraknya
batik cap di berbagai daerah. Selain itu, juga dikarenakan kondisi politik yang
menyudutkan etnis Cina yang merupakan penguasa perdagangan Batik Lasem.
Menurut data Forum
Economic Development (Fedep) Rembang, tahun 1950-an ada sekitar 140 pengusaha
Batik Lasem. Tahun 1970-an jumlahnya merosot hingga tinggal separo. Puncaknya
tahun 1980-an pengusaha Batik Lasem hanya tinggal mencapai 7 orang saja yang aktif.
Selanjutnya perkembangan Batik Lasem terus mengalami pasang dan surut.
6. Pantai Caruban dan Pantai Krang Jahe
Pantai caruban
Pantai Caruban terletak di
desa gedong mulyo kecamatan lasem. pantai yang terkenal dengan pasirnya yang
halus dan bibir pantai yang luas ini menjadi pilihan destinasi wisata bahari
bagi warga rembang.
dengan akses masuk yang
mudah dan adanya tambak garam di sepanjang akses jalan masuk membuat perjalanan
merasa nyaman dan tenang.
Saat sudah tiba di pantai
kita akan di sambut dengan kesejukan pohon cemara dan angin pantai yang segar,
ini lah yang membuat banyak wisatawan merasa betah berada di pantai tersebut.
Pantai Krang Jahe
Mari kita bergeser sedikit
ke arah barat sekitar kurang lebih 1 Kilo Meter kearah barat, ada satu pantai
lagi yang juga sangat mempesona yang di beri nama pantai Karang Jahe.
Pantai yang bersih dan
berpasir putih di kelilingi pohon cemara yang rimbun menambah ke eksotisan
pantai tersebut.
nama karang jahe berasal
dari sebutan masyarakat yang dahulu melihat banyak sekalali karang - karang
kecil seukuran jahe bertebaran di bibir pantai, dari situ lah nama karang jahe
berasal.
7. Warung Kopi Lelet
Masyarakat lasem yang
mempunyai kebiasaan minum kopi membuat menjamurnya warung kopi di kecamatan
lasem. warung kopi yang di berinama oleh warga masyarakat dengan sebutan " kopi lelet " kata lelet berasal dari
bahasa jawa yang berarti oles.
Waraung tersebut
menyajikan kopi hitam yang mempunyai rasa tradisional. bagi para perokok ampas
kopi yang halus bisa di oleskan atau di " lelet " ke batang rokok untuk
menambah citarasa rokok. ini lah mengapa warung kopi yang ada di lasem selalu
di sebut " warung kopi
lelet ".
warga lasem yang mempunyai
darah seni terutama membatik tak jarang menuangkan idenya di sebatang rokok
tersebut. Alhasil olesan ampas kopi di sebatang rokok menjadi karya seni yang
indah.
Editor : Bowik
ConversionConversion EmoticonEmoticon